macanbolanews.com Ibukota – Pemakzulan tidak sekadar istilah yang banyak dibicarakan pada waktu krisis urusan politik atau konflik kekuasaan terjadi. Di baliknya, terdapat prosedur hukum yang telah lama diatur secara jelas pada konstitusi Indonesia.
Presiden atau perwakilan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, memang sebenarnya dapat diberhentikan dari jabatannya. Namun, proses yang dimaksud tidak ada bisa jadi dijalankan secara sembarangan atau belaka berdasarkan tekanan politik.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah lama menetapkan mekanisme yang dimaksud ketat dan juga berlapis untuk pemakzulan, dimulai dari usulan di tempat DPR, pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi, hingga langkah akhir di tempat MPR.
Proses ini dirancang untuk menjaga stabilitas negara lalu menjamin bahwa pemberhentian presiden atau perwakilan presiden belaka terjadi jikalau ada pelanggaran serius terhadap hukum atau ketentuan konstitusi.
Berikut ini adalah mekanisme secara rinci pada proses pemakzulan, mengutip dari situs hukum online lalu berbagai sumber lainnya.
Mekanisme pemakzulan presiden atau delegasi presiden menurut UUD 1945
• Sesuai Pasal 7B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, usulan pemberhentian presiden atau duta presiden dapat diajukan oleh DPR untuk MPR.
• DPR harus terlebih dahulu memohonkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa juga memutuskan apakah presiden dan/atau perwakilan presiden benar-benar melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, aktivitas pidana berat, atau perbuatan tercela atau tiada lagi memenuhi ketentuan sebagai kepala negara.
• Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan putusan menghadapi pendapat yang dimaksud disampaikan DPR tersebut.
• Adapun pengajuan dari DPR ke MK hanya sekali dapat dijalankan apabila disetujui oleh minimal dua pertiga dari anggota DPR yang dimaksud hadir pada sidang paripurna, dengan ketentuan sidang yang disebutkan dihadiri oleh minimal dua pertiga dari total anggota DPR, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 7B ayat (3).
• Setelah menerima permintaan resmi dari DPR, MK miliki waktu maksimal 90 hari untuk meneliti, mengadili, kemudian memberikan putusan secara adil terkait pendapat DPR tersebut, sesuai ketentuan Pasal 7B ayat (4).
• Bila MK menyatakan bahwa presiden atau delegasi presiden terbukti melanggar hukum, maka DPR akan mengatur sidang paripurna guna meneruskan usulan pemberhentian terhadap MPR.
• MPR, setelahnya menerima usulan tersebut, wajib menyelenggarakan sidang untuk mengambil kebijakan di waktu paling lambat 30 hari, sebagaimana diatur di Pasal 7B ayat (6).
• Keputusan pemakzulan cuma dapat diambil pada rapat paripurna MPR yang mana dihadiri oleh setidaknya tiga perempat dari total anggota, serta disetujui oleh dua pertiga dari anggota yang dimaksud hadir.
• Sebelum kebijakan diambil, presiden atau perwakilan presiden yang tersebut bersangkutan diberi kesempatan menyampaikan pembelaan di tempat hadapan sidang MPR, sebagaimana tercantum pada Pasal 7B ayat (7).
Dari proses ini dapat disimpulkan bahwa pemberhentian presiden dan juga duta presiden memang sebenarnya menjadi kewenangan MPR, tetapi mekanismenya melibatkan DPR kemudian MK. DPR bertindak sebagai pengusul, MK sebagai lembaga penilai dugaan pelanggaran, juga MPR sebagai pengambil langkah akhir.
Prosedur ini menunjukkan bahwa pemakzulan tidak ada mampu dilaksanakan sembarangan, melainkan harus melalui tahapan hukum serta konstitusional yang tersebut ketat.
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk Kecerdasan Buatan dalam situs web ini tanpa izin tercatat dari Kantor Berita ANTARA.