8 Aug 2025, Fri

Macanbolanews

Ibukota Indonesia – Planet balap mobil internasional pada waktu ini mempunyai dua wajah berbeda yang sama-sama menampilkan teknologi tertinggi: Formula 1 (F1) dan juga Formula E. Meski keduanya menawarkan sensasi kecepatan juga pembaharuan mutakhir, pertanyaan utama yang mana kerap muncul dari rakyat adalah, "mana yang mana lebih besar cepat?"

Perbandingan kecepatan maksimal

Secara teknis, Formula 1 masih memegang predikat sebagai kompetisi balap tercepat di area dunia. Mobil F1 mampu meningkat pesat hingga kecepatan maksimal sekitar 375 kilometer per jam, berkat bobot sasis yang mana lebih lanjut ringan kemudian mesin pembakaran internal berteknologi tinggi. Di sisi lain, mobil Formula E pada waktu ini memiliki kecepatan puncak sekitar 322 kilometer per jam, dengan daya maksimal 300 kW (sekitar 402 bhp) ketika balapan.

Meskipun selisih kecepatan ini cukup signifikan, Formula E mengusung misi berbeda: menciptakan kompetisi balap yang mana ramah lingkungan dengan emisi karbon hingga 90 persen tambahan rendah dibandingkan dengan Formula 1. Ini adalah menjadikan Formula E sebagai turnamen futuristik yang mana mengedepankan elektrifikasi lalu keberlanjutan.

Aspek daya tahan juga format balapan

Salah satu kelemahan utama kendaraan listrik pada Formula E adalah daya tahan baterai. Balapan Formula E belum bisa saja menandingi durasi dan juga jumlah agregat putaran yang dimaksud dicapai pada F1. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun cepat, mobil Formula E masih menghadapi keterbatasan di aspek endurance.

Untuk menyiasati tantangan tersebut, Formula E memperkenalkan ciri baru bernama Pit Boost sejak musim ke-11. Fitur ini mewajibkan pit stop selama 30 detik untuk pengisian energi cepat sebesar 3,85 kWh. Namun, tak seperti F1 yang tersebut miliki strategi pit stop kompleks termasuk pergantian ban, mobil Formula E menggunakan ban segala cuaca yang dimaksud tak perlu diganti selama balapan, kecuali terjadi kerusakan.

Inovasi kemudian pertaruhan masa depan

Baik F1 maupun Formula E sama-sama menjadi wadah uji coba teknologi otomotif. F1 ketika ini sedang mengembangkan material bakar rendah emisi sebagai bagian dari target netral karbon pada 2030. Di sisi lain, Formula E menjadi laboratorium hidup untuk pengembangan penyimpan daya juga efisiensi daya pada kendaraan listrik.

Chief Executive Formula E, Jeff Dodds, menilai bahwa walaupun F1 kaya sejarah, Formula E kaya akan potensi. “Kami adalah olahraga yang tersebut mengalami perkembangan tercepat, berkembang 20 persen setiap tahun. Itu tak terjadi di tempat Formula 1,” ucapannya pada wawancara dengan The Australian Financial Review Magazine.

Namun, fakta di tempat lapangan menunjukkan bahwa F1 tetap saja menjadi magnetik utama penonton. Serial Drive to Survive yang tayang dalam Netflix menjadi faktor pendorong popularitas global F1, termasuk rekor diperkenalkan 452.000 penonton di area GP Australia 2023.

Formula E memang benar belum sanggup mengalahkan F1 dari sisi kecepatan atau total penonton, tetapi keunggulannya di efisiensi lalu komitmen terhadap lingkungan membuatnya menjadi simbol masa depan olahraga otomotif.

“Formula 1 akan berevolusi, mirip seperti Formula E. Hal ini tidak tentang siapa yang tersebut lebih besar unggul sekarang, tapi bagaimana keduanya beradaptasi terhadap tantangan zaman,” kata Ellen Jones, Kepala Strategi ESG Formula 1.

Maka, ketika berbicara perihal kecepatan murni, Formula 1 masih unggul. Namun di hal keberlanjutan juga arah pengembangan otomotif global, Formula E tampil sebagai pesaing penting yang tersebut sedang menciptakan jalurnya sendiri menuju masa depan.

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk Teknologi AI di tempat situs web ini tanpa izin tertoreh dari Kantor Berita ANTARA.

By Adm1n